Digitalisasi sistem perpajakan merupakan salah satu agenda penting Direktorat Jenderal Pajak dalam reformasi perpajakan. Melalui proyek Pembaruan Sistem Inti Administrasi Perpajakan (PSIAP) dan pengembangan sistem informasi berbasis commercial off-the-self (COTS), semakin memudahkan proses wajib pajak dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya.
Sayangnya, berbagai manfaat digitalisasi pajak yang dipahami masyarakat saat ini hanya pada ranah praktis seperti peningkatan kualitas dan kemudahan pelayanan, produktivitas, dan akuntabilitas. Hingga saat ini, dampak digitalisasi dalam mendukung stabilitas ekonomi Indonesia kurang mendapat perhatian.
Memahami hubungan antara pajak dan perekonomian sangatlah penting. Apalagi saat ini dunia sedang menghadapi berbagai jenis krisis seperti pandemi, politik, energi, dan keamanan. Oleh karena itu, sejumlah negara telah melakukan penelitian untuk menemukan hubungan antara digitalisasi sistem perpajakan dengan stabilitas ekonomi. Misalnya, Rusia yang saat ini menempati urutan ke-38 dunia dalam pengembangan teknologi digital menunjukkan dampak positif digitalisasi sistem perpajakan terhadap keberlanjutan ekonomi.
Penelitian yang dilakukan oleh Volgograd State Technical University mengungkapkan bahwa administrasi pajak yang efisien telah meningkatkan pendanaan untuk anggaran negara sebesar 5,8 triliun rubel (US$ 69,34 miliar), naik 9,1 persen dari tahun sebelumnya. Dengan demikian, digitalisasi sistem perpajakan dapat memperluas ruang fiskal.
Studi di negara-negara Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) juga menunjukkan bahwa digitalisasi memiliki hubungan positif dengan penerimaan pajak dan pertumbuhan ekonomi. Studi ini sejalan dengan Rencana Strategis Direktorat Jenderal Pajak 2020 - 2024 yang meyakini reformasi administrasi perpajakan berpotensi meningkatkan tax ratio sebesar 1,5 persen.
Rasio pajak membandingkan total pendapatan dengan produk domestik bruto (PDB). Jadi, jika PDB Indonesia adalah Rp 19,58 kuadriliun (US$ 1,3 triliun) seperti yang ditunjukkan oleh Badan Pusat Statistik pada 2022, maka tambahan penerimaan pajak dari digitalisasi akan menjadi Rp 296,25 miliar. Nilai tersebut lebih besar dari total anggaran kesehatan pada 2022.
Manfaat pertama dari digitalisasi adalah peningkatan penerimaan pajak dapat meningkatkan PDB suatu negara. Manfaat kedua adalah transparansi. Otoritas pajak Rusia telah menerapkan verifikasi identitas hukum melalui situs web-nya. Rusia bahkan telah menerapkan sistem untuk memantau transaksi secara real-time. Dengan demikian, wajib pajak yang berniat untuk terlibat dalam shadow economy dapat dicegah. Skema ini juga berlaku di Amerika Serikat karena semua transaksi yang dilakukan wajib pajak dapat dilacak oleh otoritas pajak dengan menggunakan satu nomor identifikasi.
Di Indonesia, ketika proyek digitalisasi PSIAP diimplementasikan pada 2024, wajib pajak dapat mengakses progres aplikasi secara digital dan mendapatkan notifikasi utang pajak melalui rekening wajib pajak. Indonesia melalui reformasi perpajakan ini juga telah menerapkan integrasi NIK dan NPWP untuk memudahkan pertukaran data antarinstitusi. Dengan demikian, sistem perpajakan akan lebih kredibel dan akuntabel karena proses pengawasan akan dilakukan oleh berbagai pihak.
Selain itu, interaksi antara petugas pajak dan wajib pajak dapat diminimalisasi sehingga celah korupsi dan suap dapat ditutup. Dengan adanya pertukaran data antar berbagai institusi dan yurisdiksi, maka celah perputaran investasi, aliran dana dan penghindaran pajak juga dapat ditekan.
Transparansi antarnegara dapat menghilangkan pemanfaatan negara surga pajak. Dengan demikian, investasi akan mengalir secara adil ke berbagai negara dan berkontribusi pada perkembangan kegiatan ekonomi di seluruh negara. Hal itu akan menciptakan perluasan usaha, penyerapan tenaga kerja, produktivitas tenaga kerja, perluasan ekspor, alih teknologi, dan pertumbuhan ekonomi.
Digitalisasi sistem perpajakan juga mampu mengurangi biaya kepatuhan yang dikeluarkan seperti waktu tunggu, percetakan, biaya transportasi dan sengketa. Misalnya, Rusia berhasil mengurangi jumlah audit dari total 87.900 audit menjadi 10.900 audit sejak penerapan sistem digital. Proses birokrasi yang sangat panjang tentunya menghambat produktivitas wajib pajak dalam produksi barang dan jasa, berdampak pada arus kas dan penurunan produktivitas perekonomian.
Kecepatan, kemudahan, kepastian, dan biaya kepatuhan yang rendah akan mendorong kepatuhan dari wajib pajak. Studi oleh Universitas Cambridge menunjukkan bukti bahwa biaya transaksi yang rendah dapat meningkatkan produktivitas lintas batas, dan meningkatkan hubungan kontrak dan kinerja ekonomi dari waktu ke waktu.
Pada titik ini, peran digitalisasi dalam reformasi perpajakan untuk meningkatkan stabilitas ekonomi di Indonesia menjadi sangat penting.
Oleh karena itu, pemerintah perlu mengembangkan sistem tersebut secara terus menerus bahkan setelah proyek PSIAP dilaksanakan. OECD telah mengembangkan Digital Transformation Maturity Model (DTMM). Cara ini untuk memastikan bahwa proses digitalisasi di suatu negara dapat terus berkembang dari tingkat emerging ke tingkat aspirasional.
Tingkat aspirasional adalah ketika sistem perpajakan suatu negara mampu menerapkan layanan real-time sebagaimana visi administrasi perpajakan 3.0 (OECD, 2020). Tingkat aspirasi ini membutuhkan konsistensi otoritas pajak dalam melakukan kerja sama yang luas dengan berbagai institusi dan seluruh masyarakat, akses ke berbagai sumber data dan penggunaan kecerdasan buatan secara ekstensif.
Kesimpulannya, reformasi perpajakan yang dilakukan Ditjen Pajak perlu dipandang positif karena akan berdampak besar terhadap perekonomian Indonesia. Sementara itu, perbaikan terus dilakukan oleh Ditjen Pajak agar sistem perpajakan digital Indonesia mencapai level aspiratif dalam model DTMM sebagaimana visi administrasi perpajakan OECD 3.0.
M. Abd. Nasir dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Jember, anggota Kelompok Riset (KeRis) Behavioral Economics on Monetary, Financial, and Development Policy (Benefitly)
Sumber : news.detik